Tuesday, March 6, 2012

Villas-Boas Korban Bos Besar





Isu suam-suam kuku kini menyiram sekujur tubuh kubu Stamford Bridge soal siapa pelatih yang bakal menggantikan Andre Villas-Boas (AVB) sebagai arsitek "The Blues".

Berlabuh selama delapan bulan di bahtera Chelsea, AVB mendulang dua kemenangan, empat hasil imbang, dan tiga kali keok dalam hitungan sembilan laga terakhir. Perolehan itu jelas-jelas membuat John Terry dan kawan-kawan bermuram durja, lebih-lebih lagi bos besar asal Rusia, Roman Abramovichkontan murka.

Hanya finis di empat besar Premier League dan terdepak dari babak 16 besar Liga Champions, AVB terlibas oleh asa kekuasaan yang subur berkembang di Chelsea, yakni cepat-cepat dikarbit kemudian didepak dari peredaran waktu. Drama khas AVB dan para pendahulunya yang menjadi korban Bos Besar.

Pelatih berusia 34 tahun itu tidak sendiri. Kutuk Chelsea bahwa "yang gagal silakan secepatnya gulung tikar" menelan sederet nama besar di atmosfer sepak bola dunia. Bos besar menyantap siapa saja yang menjumpai kegagalan di tikungan perjuangan hidup.

Mereka yang disantap Bos Besar kemudian dilengserkan Chelsea, sebut saja Claudio Ranieri (September 2000 - Mei 2004), Jose Mourinho (June 2004 - September 2007), Avram Grant (September 2007 - Mei 2008), Luiz Felipe Scolari (Juli 2008 - Februari 2009), Guus Hiddink (Februari 2009 - Mei 2010), Carlo Ancelotti (Juni 2009 - Mei 2011).

AVB dilengserkan, sejumlah nama diorbitkan ke langit The Blues. Ada beberapa nama yang kini santer beredar di publik, yakni Jose Mourinho, Rafael Benitez, Brendan Rodgers, Fabio Capello, Guus Hiddink, Pep Guardiola, Harry Redknapp. Yang berkenan di hati bos besar, tentu digadang-gadang kemudian diangkat sebagai penghuni "sementara" Chelsea.

Bos besar yang bertahta di singgasana bersabda, dunia sepak bola seakan berjalan sendiri. Mereka yang gagal menghadirkan kemenangan di trofi kehidupan akan dilindas, dihilangkan, dihapuskan, diremuk bahkan ditiadakan. Untuk menghindari kutuk bos besar, satu saja jalannya: menyebut setiap lawan adalah lawan.

Dan Jose Mourinho adalah kampiunnya. Dengan menyebut diri sebagai "The Special One", pelatih asal Portugal itu memberi Chelsea segepok gelar. Dua gelar Premier League, satu Piala FA dan dua Piala Liga, mengukuhkan Mou sebagai sosok yang telah membuktikan diri sebagai orang yang mampu bekerja dan berprestasi.

Mou diibaratkan sebagai seniman yang betul-betul berbakat sebagai seniman. Ibaratnya, seniman tanpa menghasilkan karya seni bukanlah seniman. Manajer tanpa menghasilkan gelar prestasi, bukanlah manajer. The Special One tidak sebatas mengomongkan gelar tetapi membuktikannya dan mempersembahkan sederet gelar ke hadapan Bos Besar.

AVB paham betul kesukaan Bos Besar, begitu sebaliknya. Sukses menggarap FC Porto sampai meraih "treble" menjadi pertimbangan Bos Besar. Harapannya, sukses itu berulang di Premier League. Kenyataannya, AVB orang yang tepat di klub yang keliru.

Bercokolnya Didier Drogba, Frank Lampard, John Terry dan Ashley Cole menjadi kerikil dalam sepatu atau duri dalam daging Chelsea. Empat dedengkot Chelsea itu begitu lekat dengan sosok Mou. Keempatnya bahkan disebut-sebut kerapkali curhat kepada Mou. Keempatnya mengabdi dua tuan, satu Bos Besar.

Kalau Mou trengginas berhadapan dengan pers Inggris yang terbilang ganas, AVB justru terkesan di bawah tekanan ketika menjawab pertanyaan wartawan setempat. Sebagai pelatih, ketika menelan kekalahan, AVB kerapkali menyalahkan wasit ketimbang mawas diri dengan racikan taktiknya.

Selain menghadapi anggota skuad yang kebanyakan telah berusia relatif tua, AVB dipusingkan dengan prahara yang melanda John Terry pada Juli lalu berkaitan dengan kasus bernuansa rasial terhadap Anton Ferdinand. Pelatih asal Portugal itu juga dituding bertanggungjawab atas kurang moncernya penampilan Fernando Torres dan David Luiz.

Chelsea di bawah Abramovich tampil sebagai naga raksasa (Leviathan) pemangsa mereka yang tidak berprestasi. Chelsea kini memproklamirkan diri sebagai model bisnis yang otoriter. Ini yang kurang dipahami AVB, tetapi justru dimengerti Mou.

Sayangnya, Mou membangun reputasinya di Chelsea di masa lalu dengan mengembangkan organisasi permainan yang cenderung bertahan. Kosok balik, Mou justru menginspirasi Real Madrid tampil menyerang. Buktinya, Madrid kini memimpin di puncak klasemen La Liga dengan melampaui seteru lawasnya Barcelona di bawah besutan Pep Guardiola.

Jadi tidaknya Mou ke Chelsea menggantikan AVB terpulang kepada asa dari Bos Besar. Sang Bos Besar mendaulat bahwa bersihkan apa saja yang berada di sekeliling demi kejayaan tim. Pilihannya, meniadakan atau menaklukkan lawan, atau justru ditiadakan atau ditaklukkan oleh lawan. 


bola.net

No comments:

Post a Comment